The Power Generation, Renewable Energy & Electrical Equipment ​Exhibitions

17 - 20 SEPTEMBER 2025

Jakarta International Expo, Jakarta - Indonesia

Energi Terbarukan Bukan Cuma Urusan Iklim, tapi Soal Kedaulatan Nasional

Di tengah dunia yang makin terhubung secara ekonomi namun penuh ketidakpastian geopolitik, ketahanan energi bukan lagi sekadar soal pasokan listrik – melainkan menyangkut kedaulatan nasional. Jepang menyadari hal ini lebih awal, dan Indonesia perlu mengikuti jejaknya sebelum terlambat.

Sebagai negara yang miskin sumber daya energi fosil, Jepang selama ini menggantungkan hampir seluruh kebutuhan energinya pada impor. Data dari Agency for Natural Resources and Energy menunjukkan bahwa pada 2022, 94% konsumsi energi Jepang berasal dari luar negeri. Ketika konflik Rusia-Ukraina meletus dan harga energi global melonjak, Jepang mengalami tekanan besar. Namun dari krisis ini, lahir strategi baru: energi terbarukan sebagai bagian dari pertahanan nasional.

Melalui 7th Strategic Energy Plan, Jepang tidak hanya menargetkan pengurangan emisi, tetapi juga memperkuat ketahanan ekonomi dan militer dengan membangun sumber energi domestik yang bersih, terbarukan, dan mandiri. Ini adalah pelajaran penting bagi negara berkembang seperti Indonesia.

Indonesia, meskipun kaya sumber daya alam, menghadapi tantangan yang tak kalah besar. Lebih dari 50% kebutuhan energinya masih bergantung pada impor, terutama minyak dan gas. Ketergantungan ini membuat Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga dan tekanan politik dari negara-negara pemasok energi. Terlebih, sebagian besar pembangkit listrik di Indonesia masih menggunakan batu bara, yang semakin ditinggalkan dunia.

Pemerintah saat ini telah menyatakan komitmen kuat untuk transisi energi. Presiden Prabowo, misalnya, menargetkan penutupan pembangkit berbasis fosil pada 2040, serta menambah kapasitas energi terbarukan hingga 75 gigawatt. Ini adalah langkah awal yang penting, tetapi tidak cukup jika tidak diikuti dengan strategi yang matang dan sistematis

Tiga Tantangan Utama

Ada tiga tantangan utama yang perlu segera diatasi.

Pertama, adalah masalah biaya. Menurut Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), Indonesia membutuhkan investasi hampir USD 30 miliar (setara Rp 493 Triliun-red) per tahun untuk mencapai target energi bersih pada 2030. Angka ini tentu besar. Namun melalui skema pembiayaan inovatif seperti kemitraan publik-swasta, pinjaman iklim internasional, dan insentif pajak, hal ini bukan mustahil dicapai. Yang penting adalah bagaimana pemerintah menciptakan ekosistem yang kondusif untuk investor, dengan kepastian hukum dan insentif yang jelas.

Kedua, adalah ketergantungan pada teknologi asing. Industri energi terbarukan Indonesia, terutama panel surya dan turbin angin, masih bergantung pada impor teknologi, sebagian besar dari Tiongkok. Ini menimbulkan potensi risiko baru dalam rantai pasokan. Indonesia perlu segera memperkuat kemampuan manufaktur dalam negeri, sekaligus mendorong riset dan pengembangan teknologi lokal yang berkelanjutan.

Ketiga, adalah risiko industrialisasi prematur. Kita telah melihat bagaimana hilirisasi nikel dan kelapa sawit yang terburu-buru menghasilkan industri yang tidak efisien dan merusak lingkungan. Energi terbarukan pun bisa mengalami hal serupa jika dikembangkan tanpa perencanaan, tanpa teknologi yang matang, dan tanpa kepatuhan terhadap prinsip keberlanjutan. Industrialisasi yang terburu-buru, tanpa kesiapan kapasitas nasional, hanya akan mengulang kegagalan serupa.

Tiga Tawaran Solusi

Apa yang bisa kita lakukan?

Pertama, pemerintah perlu mulai mengintegrasikan isu energi ke dalam kerangka keamanan nasional. Energi harus dilihat sebagai elemen strategis – bukan sekadar urusan kementerian teknis, tetapi menyangkut stabilitas negara, daya tawar diplomatik, hingga kesiapsiagaan pertahanan. Rencana energi nasional harus dirancang seperti dokumen pertahanan: jangka panjang, multidimensi, dan adaptif terhadap krisis.

Read More

Source : detik.com